Tuesday, October 19, 2010

20 Cara Hindari Kesalahan Medis – Bagian 2

Semakin sering kita mendengar, betapa pihak pasien dirugikan oleh pihak layanan medis. Kesalahan medis terjadi bila sesuatu yang sudah direncanakan sebagai bagian dari terapi pasien, tidak seluruhnya membuahkan hasil. Atau rencana terapi dokter sudah salah sejak awalnya, sehingga merugikan pihak pasien.

Kesalahan medis dapat terjadi di bagian mana saja dari unit layanan medis, seperti rumah sakit, klinik, puskesmas, praktik dokter, rumah bersalin, atau di apotek, yang bisa menyangkut urusan obat, tindakan bedah, diagnosis, alat periksa, dan laboratorium.
Di bawah ini, adalah 10 cara praktis kedua agar kesalahan medis tidak terjadi. 10 cara pertama bisa dilihat disini.



11. Rumah sakit merupakan sumber berkumpulnya berbagai jenis kuman penyakit. Tak sedikit jenis kuman ganas yang sudah tak mempan dengan antibiotika biasa (nosocomial infections). Pastikan sewaktu pulang dari perawatan rumah sakit kita tidak membawa pulang kuman ganas ke rumah. Caranya, basuh tangan lebih bersih dengan antisepsis saat meninggalkan rumah sakit, termasuk berkeramas, menukar pakaian rumah sakit, dan langsung menukar pakaian lalu mencucinya setiba di rumah.

12. Sebelum pulang dari rumah sakit, tanyakan lebih rinci kepada dokter yang merawat, apa obat yang harus diminum di rumah, sampai berapa lama, dan apa yang harus dilakukan dengan bekas operasi, bekas tindakan. Apa yang harus dilakukan jika terjadi sesuatu dan kapan kembali kontrol, juga apa yang akan terjadi sehubungan dengan tindakan medis atau mengonsumsi bekal obat yang dibawa pulang.

13. Jika harus menjalani pembedahan, pastikan dokter, perawat, dan petugas kamar bedah tahu bagian tubuh dan sisi yang mana yang akan dibedah. Tak jarang, operasi dengkul sebelah kanan, dokter membedah dengkul yang kiri, atau dokter masih bertanya mau membedah apa setelah berada di kamar operasi, sehingga bikin pasien jadi sangsi. Etisnya, sehari sebelumnya dokter sudah memberi penjelasan rinci ihwal tindakan bedah yang akan dilakukan, berapa lama, dan apa yang akan terjadi sehubungan dengan tindakan bedah itu. Baru setelah itu surat pernyataan setuju pasien ditandatangani.

14. Apabila masih ada yang meragukan, belum jelas, atau ada kesangsian terhadap dokter, jangan ragu bertanya ulang sampai jelas benar. Misal, apakah pembedahan memang satu-satunya pilihan. Jika tidak dilakukan, apa akibat buruk medisnya? Tak jarang, sehabis dilakukan tindakan bedah atau tindakan medis, keadaan menjadi bertambah buruk. Bisa jadi malah sampai merenggut nyawa. Orang yang semula sehat, iseng-iseng diperiksa dan dilakukan tindakan (invasif) untuk memeriksa jantung, malah pulang tinggal nama.

15. Pastikan dokter yang merawat terus memonitor pasien sehabis melakukan tindakan medis. Di kita, dokter cenderung berpraktik pada lebih satu rumah sakit. Baru selesai membedah di rumah sakit A, sudah langsung pindah ke rumah sakit B. Tak jarang komplikasi suatu tindakan luput termonitor sebab dokter sudah tidak berada di tempat lagi. Perdarahan pascaoperasi, misalnya.

Untuk itu, kita perlu memiliki informasi jadwal praktik dokter yang merawat kita setiap hari, di alamat mana saja, selain bisa dikontak di telepon atau ponsel berapa saja, untuk jaga-jaga seandainya terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

16. Selain dokter yang melakukan tindakan medis, pastikan semua perawat, petugas kamar bedah, dan semua yang terlibat, mengetahui segala hal-ihwal yang sudah dilakukan terhadap pasien. Maksudnya, agar sekiranya ada hal-hal atau komplikasi yang timbul beberapa waktu setelah tindakan medis, tak sulit menelusurinya. Rekam medik saja sering tidak cukup.

17. Pastikan ada yang mendampingi pasien saat komunikasi dengan dokter yang akan melakukan tindakan medis. Perlu dijalin komunikasi yang lancar dengan dokter sehubungan dengan tindakan medis yang akan dilakukan. Sehingga sekiranya terjadi penyimpangan, kejadian di luar rencana atau prosedur tidak akan sampai menimbulkan salah paham atau kecurigaan. Komunikasi dokter dengan pasien dalam transaksi medis
akan menentukan kualitas layanan medis yang akan dihasilkan.

18. Jangan beranggapan bahwa semakin banyak tindakan, semakin banyak jenis obat diberikan atau pemeriksaan dilakukan, akan memberikan kebaikan bagi kesehatan. Sebaliknya, seberapa bisa sebaiknya membatasi tindakan medis, terlebih yang bersifat invasif (bedah, tindakan suntikan, pemeriksaan dengan radioaktif, pemeriksaan dengan cairan kontras, pemeriksaan dengan manipulasi bagian dalam tubuh). Kalau boleh tidak dilakukan, sebaiknya tidak dilakukan. Betapa enteng dan sederhana pun setiap tindakan invasif, seperti memasukkan pipa, selang, atau bahan pemeriksa ke dalam tubuh, selalu ada risiko jeleknya.

19. Setiap kali dokter meminta pemeriksaan, baik laboratorium, pemotretan organ, atau apa saja, pasien harus tahu hasilnya. Tentu perlu bertanya sebelum semua anjuran pemeriksaan itu dilakukan, apa tujuannya, dan apa yang diharapkan. Orang yang sudah jelas kanker paru-paru, buat apa diperiksa teropong bronchoscopy lagi, yang selain menambah biaya, berisiko memperburuk kondisi pula. Tanpa kabar medis dari dokter, bukan berarti selalu berita baik.

20. Kalau dokter melakukan tindakan medis atau pemberian obat yang merupakan penemuan baru atau peralatan medis baru, pastikan apakah temuan itu sudah aman dan menempuh uji klinis atau uji aman berdasarkan laporan ilmiah, dan sudah disetujui Badan Pengawasan Obat setempat atau internasional.

Banyak kali terjadi, pasien menjadi kelinci percobaan untuk obat, teknik, atau cara pemeriksaan baru yang belum tentu aman dan sahih secara medis. Perlu bukti mutakhir bahwa apa yang dokter lakukan, kerjakan, dan berikan betul legal secara medis dan dinilai aman.

sumber: milis sehat

0 comments:

Post a Comment